Jumat, 21 Februari 2014

Untuk Tan Malaka, Pahlawan RI Yang Ditembak Mati

Apa kabarmu Radjiman Poetra? Semoga api perjuangan masih menyala dan berkobar di manapun kalian berada. Kali ini penulis akan mengajak kalian mengenang salah satu Pahlawan Republik Indonesia (RI) yang mulai terlupakan. Entah, mungkin karena dia dikenal pejuang kiri. Dan merupakan pemimpin PKI. Sementara Bangsa ini entah kenapa takut sekali meski hanya menyebut kata itu saja. Padahal Undang-Undang menjamin kita untuk berpendapat selama bertanggungjawab.

Tan Malaka, dalam dunia sastra dikenal dengan sebutan Sang Patjar Merah Indonesia. Dia merupakan salah satu Pahlawan RI yang dihukum mati pada tanggal 21 Pebruari 1949 di Kediri. Gelar Pahlawan berdasarkan dari Keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno pada tanggal 28 Maret 1963 yang menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional. 


Tan Malaka sesungguhnya memiliki nama asli Ibrahim dan gelar Datuk Tan Malaka ini lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat pada 2 Juni 1897 silam serta meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 21 Februari 1949 pada usia 51 tahun. Dia adalah seorang aktivis kemerdekaan Indonesia, filsuf kiri, pemimpin Partai Komunis Indonesia, pendiri Partai Murba.

Lepas dari berbagai stigma buruk yang disandang Tan Malaka. Ada satu perlajaran berharga yang bisa kita contoh, yaitu perjuangan mencari ilmu. Saat masih di desanya Tan Malaka juga belajar agama (tidak jelas disebutkan agama apa, hanya saja jika namanya Ibrahim kemungkinan besar Islam) dan Belajar Pencak Silat (Seperti Pemuda Dirgo di tahun-tahun 2005 ke belakang, banyak sekali Perguruan Pencak silat yang diikuti). Meski tidak penurut oleh gurunya Tan Malaka termasuk murid yang pandai. Karena sudah belajar Bahasa Belanda, maka setelah lulus dengan biaya dari para engku di desanya dia melanjutkan sekolah di Belanda. Meski harus sakit karena shock culture. Selama kuliah pengetahuannya semakin pesat, pemikirannya banyak dipengaruhi karya-karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Friedrich Nietzsche juga menjadi salah satu tokoh idolanya. Mungkin, ini juga kali yang membawa dia akhirnya memimpin PKI hehe.


Setelah lulus, dia kembali ke desanya. Dia kemudian menerima tawaran Dr. C. W. Janssen untuk mengajar anak-anak kuli di perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Utara. Pada bulan Desember 1919 dia mulai mengajar. Selain itu, dia juga rajin menulis propaganda untuk kaum kuli. Perbedaan yang mencolok antara kuli dan kapitalis membuat dia rajin menulis yang didominasi ulasan ketimpangan kondisi tersebut, hingga dia mewakili kiri terjun ke dunia Politik Praktis.

Apapun dan siapapun Pahlawan Indonesia. Mereka juga manusia, mungkin ada salah dalam perjalanannya. Namun, coba kita lihat jirih payahnya, pengorbanannya. Niatnya yang tulus membela kuli, dan menjarkan ilmunya itu. Bukankah semua tidak lepas dari niat baiknya menjaga Tanah Air Indonesia tercinta. Bahkan, dia sempat menjadi buronan inteligent Belanda karena perjuangannya. Dan akhirnya untuk kalian Para generasi penerus Radjiman Poetra selamat mengambil hikmah. 

Mari berdoa, Tuhan bantu kami menjaga dan meneruskan perjuangan para pahlawan untuk menjaga negeri yg indah ini, amin..

Selasa, 21 Januari 2014

Gebrakan Awal Radjiman Putra Foundation

Merdeka!!! Allohu Akbar.!!!!

Begitu pekikan Bung Tomo memberi semangat. Semoga lanatang suara Bung Tomo itu masih bergemuruh di dada kalian yang sangat Indonesia, menyemangati setiap langkah kecil dari teman-teman yang sudah tergabung dalam organisasi Radjiman Poetra Foundation (RPF) merupakan lanjutan dari perjuangan para pahlawan. Sehingga jirih payahnya bisa membuahkan hasil dan kemanfaatan untuk banyak orang, khususunya masyarakat Ngawi secara spesifik arek-arek Dirgo.

Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama. Situs rumah Dr. Radjiman yang akhirnya diakui sebagai Pahlawan Nasional tahun 2012 lalu itu. Kini sedang dalam tahap pembangunan. Setelah bertahun-tahun tak terurus.

Sebagai, pemuda dan pemudi asli Dirgo Ahmad Yasin Abdullah, Sardjono, Mahmudah, Syukron Mubasar, dan Indah Yuliastuti mulai serius memperhatikan perkembangan yang ada di desanya. (Bagi pemuda dan pemudi Dirgo yang mau gabung segera hubungi salah satu dari mereka). Harapannya jangan sampai pembangunan yang dibiayai Negara itu sia-sia. Dari itu kami membentuk organisasi Radjiman Poetra Foundation (RPF) untuk memberi perhatian lebih.

Fokus garapnya di wilayah pendidikan Kebudayaan dan Pariwisata. Kedepan kita berharap dengan adanya organisasi ini masyarakat Dirgo bisa turut menjaga, melestarikan, dan menikmati keberadaan Situ Dr. Radjiman. Dengan RPF kita berharap Dirgo Ngawi dan Indonesia semakin maju.

Gebrakan pertama kita adalah pembuatan kaos Radjiman Poetra. Ini karya Kusnu berupa design kaos dan logo RPF:

Kaos warna hitam dengan tulisan jawa Ilmu Tinemu kanthi Laku dan gambar dr radjiman. belakangnya gambar logo.

Kaos warna hitam dan putih bedanya gambar belakang bentuk Situs rumah Dr. radjiman

Ini Logonya

Kaos yang terpilih untuk dicetak warna putih gambar belakang berupa Logo RPF kecil dan depan Gambar dr radjiman bertulisakan huruf Jawa Ilmu Tinemu Kanthi Laku
Doakan ya? Semoga usaha kami untuk mandiri bisa tercapai tanpa harus minta bantuan ke sana dan ke sini. Jujur penulis terharu pada komitmen teman-teman yang rela berjuang tanpa dibayar bahkan harus merelakan untuk iuran Rp.500.000 untuk biaya roda organisasi. Semoga ini menjadi perhatian pemerintah. Lihatlah, masih ada anak muda yang rela berkorban.

Tidak hanya itu, rencananya kita juga akan melebarkan usaha kita seperti souvenir dll. Selain itu, kami juga akan mengadakan pelatihan dan pendidikan untuk meningkatkan sumber daya manusia baik generasi Dirgo. Sehingga, tujuan untuk membuat desa wisata yang terintegrasi Situs Dr. Radjiman dapat terwujud.

Kami bermimpi di Dirgo ada wisata sejarah yang terkombinasi dengan kuliner yang berpadu juga dengan berbagai industri rumah berupa kerajinan. Lingkungan yang bersih dan tertata, udara yang segar dengan pohon-pohon yang menghijau rindang, tanaman subur dan menghasilkan aneka panenan yang melimpah. Kesenian dan kebudayaan senantiasa dilatih dan menjadi hiburan bagi masyarakat yang murah bahkan gratis. Semoga.

Film soe Hok Gie Ajarkan Keberpihakan Pada Kebenaran

Belajar dari film Soe Hok Gie. Film yang diangkat dari kisah kehidupan Soe Hok Gie yang merujuk dari buku "Catatan Seorang Demonstran", catatan harian Soe Hok Gie ini sangat mendidik. Agar kita selalu berpihak pada kebenaran dan selalu semangat belajar. Ini sinopsis dari filmindonesia.or.id Soe Hok Gie (Jonathan Mulia, Nicholas Saputra), aktivis dan penulis di tahun 60an. Kisah seorang yang selalu berada di luar (atau melawan) arus zaman. Gie dikenal sebagai orang lurus, jujur dan tidak kenal kompromi. Kejujurannya ini seringkali tidak bisa diterima oleh orang sekitarnya. Cintanya pada Indonesia dan dunia mahasiswa membuatnya selalu angkat bicara ketika ada yang dianggapnya akan merusak dua hal itu. Ia sangat kecewa ketika melihat perjuangannya melawan tirani dan rezim yang berkuasa saat itu, ternyata justru melahirkan rezim baru dan menyebabkan pembantaian jutaan orang yang dituduh komunis, termasuk sahabat masa kecilnya, Tjin Han (Christian Audi, Thomas Y Nawilis). Waktu berlalu. Orang-orang di sekitarnya mulai menyesuaikan diri dengan rezim baru, bahkan melakukan korupsi. Dia menolak untuk diam, meski dia bisa "masuk" ke lingkaran kekuasaan dan militer. Idealismenya ini membuat teman-temannya meninggalkannya, perempuan yang dicintainya, menolaknya. Hanya alam yang jadi tempat dimana ia bisa merasa diterima dan dicintai apa adanya. Mungkin film pertama Indonesia yang mengisahkan tokoh nyata yang tidak jatuh menjadi sekadar puja-puji, tapi berusaha menghadirkan sang tokoh dari segala sisinya. Kisah tokoh ini--meski yang tampak tokoh yang tersisihkan zaman--rasanya masih bicara pada zaman saat tokoh-tokoh terhormat dari Komisi Pemilihan Umum diperiksa karena korupsi, dan semangat materialisme sangat merasuki kehidupan masyarakat. Fotografi film ini juga unik, karena mencoba "menghidupkan" kembali warna film Indonesia tahun 1970an.

Kita semua tahu, Soekarno adalah Proklamator yang perjuangannya sangat menginspirasi dan kharismanya diakui dunia. Soekarno juga sangat dekat dengan Dr. Radjiman. Soekrano dan juga disusul seluruh Presiden yang pernah memimpin Bangsa Indonesia semua punya kurang lebih. Kita sebagai generasi muda harus belajar menghargai. Jangan sampai kesalahan terulang. Namun, jangan juga mencaci hingga kita lupa memperbaiki diri.

Percayalah, selama kalian berpihak pada kebenaran mati pun lebih berarti. Dari pada hidup di bawah bayang kebohongan dan penipuan. Hanya saja untuk memperjuangkan kebenaran butuh kesungguhan dan keseriusan untuk terus belajar dan berbuat. Dengan begitu, setapak demi setapak kita menuju gerbang kejayaan Indonesia. Semoga.

Senin, 20 Januari 2014

Sejarah Dr Radjiman

Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat (lahir di Yogyakarta, 21 April 1879 – meninggal di Ngawi, Jawa Timur, 20 September 1952 pada umur 73 tahun) adalah seorang dokter yang juga merupakan salah satu tokoh pendiri Republik Indonesia.
Dimulai dengan model pembelajaran hanya dengan mendengarkan pelajaran di bawah jendela kelas saat mengantarkan putra Dr. Wahidin Soedirohoesodo ke sekolah, kemudian atas belas kasihan guru Belanda disuruh mengikuti pelajaran di dalam kelas sampai akhirnya di usia 20 tahun ia sudah berhasil mendapatkan gelar dokter dan mendapat gelar Master of Art pada usia 24 tahun. Ia juga pernah belajar di Belanda, Perancis, Inggris dan Amerika.
Pilihan belajar ilmu kedokteran yang diambil berangkat dari keprihatinannya ketika melihat masyarakat Ngawi saat itu dilanda penyakit pes, begitu pula beliau secara khusus belajar ilmu kandungan untuk menyelamatkan generasi kedepan dimana saat itu banyak Ibu-Ibu yang meninggal karena melahirkan.
Sejak tahun 1934 ia memilih tinggal di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi dan mengabdikan dirinya sebagai dokter ahli penyakit pes, ketika banyak warga Ngawi yang meninggal dunia karena dilanda wabah penyakit tersebut. Rumah kediamannya yang sekarang telah menjadi situs sudah berusia 134 tahun. Begitu dekatnya Radjiman dengan Bung Karno sampai-sampai Bung Karno pun telah bertandang dua kali ke rumah tersebut.
Dr. Radjiman adalah salah satu pendiri organisasi Boedi Oetomo dan sempat menjadi ketuanya pada tahun 1914-1915. [1]
Dalam perjalanan sejarah menuju kemerdekaan Indonesia, dr. Radjiman adalah satu-satunya orang yang terlibat secara akif dalam kancah perjuangan berbangsa dimulai dari munculnya Boedi Utomo sampai pembentukan BPUPKI. Manuvernya di saat memimpin Budi Utomo yang mengusulkan pembentukan milisi rakyat disetiap daerah di Indonesia (kesadaran memiliki tentara rakyat) dijawab Belanda dengan kompensasi membentuk Volksraad dan dr. Radjiman masuk di dalamnya sebagai wakil dari Boedi Utomo.
Pada sidang BPUPKI pada 29 Mei 1945, ia mengajukan pertanyaan “apa dasar negara Indonesia jika kelak merdeka?” Pertanyaan ini dijawab oleh Bung Karno dengan Pancasila. Jawaban dan uraian Bung Karno tentang Pancasila sebagai dasar negara Indonesia ini kemudian ditulis oleh Radjiman selaku ketua BPUPKI dalam sebuah pengantar penerbitan buku Pancasila yang pertama tahun 1948 di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi. Terbongkarnya dokumen yang berada di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi ini menjadi temuan baru dalam sejarah Indonesia yang memaparkan kembali fakta bahwa Soekarno adalah Bapak Bangsa pencetus Pancasila.
Pada tanggal 9 Agustus 1945 ia membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Saigon dan Da Lat untuk menemui pimpinan tentara Jepang untuk Asia Timur Raya terkait dengan pemboman Hiroshima dan Nagasaki yang menyebabkan Jepang berencana menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, yang akan menciptakan kekosongan kekuasaan di Indonesia.
Di masa setelah kemerdekaan RI Radjiman pernah menjadi anggota DPA, KNIP dan pemimpin sidang DPR pertama di saat Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dari RIS.
(Ini adalah sejarah Dr. Radjiman versi wikipedia. Dan versi tulisan sudah dimuat di http://edisicetak.joglosemar.co/berita/situs-dr-radjiman-wus-dirumati-171476.html  yah hehe)